Ketika Suara Dihalang dan Pertanyaan Dianggap Ancaman

JAMBILIFE.COM – Sore itu Jumat (12/9/2025) suasana di Mapolda Jambi tampak tenang, namun udara memikul beban yang tak kasatmata, ketegangan yang menyelinap di sela langkah dan diam.

Tiga rekan wartawan menunggu dan berdiri di ambang harap, menyusun kata dalam benak, bersiap menyambut pernyataan dari para wakil rakyat yang datang dalam balutan kunjungan kerja Komisi III DPR RI.

Mereka bukan sekadar menunggu, mereka bersiap menjadi jembatan bagi suara publik melalui pertanyaan, merekam kebenaran. Namun harapan itu terempas tiba-tiba. Tatkala rombongan Komisi III dan Kapolda Jambi, Irjen Pol Krisno H Siregar, melintas dengan langkah yang tertata, muncul pula bayang kekuasaan yang enggan disentuh.

Baca Juga :  Verifikasi Bukan Legitimasi Monopoli Ruang Publik

Bukan sambutan hangat yang menyapa, melainkan lengan-lengan yang menolak. Tangan-tangan dari Bidhumas Polda Jambi berdiri sebagai tembok, tak sekadar menahan, namun mendorong, seolah pertanyaan adalah ancaman, seolah kebenaran harus disimpan rapi di balik tirai.

Dan semua itu terjadi di hadapan para pemangku kekuasaan, yang memilih bungkam. Diam yang tidak netral, namun sarat makna. Diam yang merestui.

Lalu, di mana letak kebebasan jika menyampaikan pertanyaan saja menjadi perkara yang dihalangi? Di manakah keadilan jika suara wartawan penyambung lidah rakyat harus dibungkam oleh genggam kekuasaan.

Baca Juga :  Wartawan Dihalang-halangi Saat Komisi III DPR RI Kunker di Polda Jambi

Apakah pejabat publik hanya boleh bicara saat semua telah disusun rapi, dalam waktu yang telah disepakati, dengan tanya yang telah diseleksi? Apakah kebenaran hanya boleh lahir melalui lorong yang disetujui penguasa?

Apa arti demokrasi bila ruang bicara dibatasi, bila jurnalisme penjaga nadi nurani bangsa terus dihadang?

Namun tak lama berselang, dari ruang kehumasan yang sempat menjadi bayang penghalang, lahir seberkas suara permintaan maaf.

Kabid Humas Polda Jambi, Kombes Pol Mulia Prianto mengeluarkan rilis yang menyatakan permintaan maaf.

Bahwa tidak ada niat untuk menghalang-halangi tugas para jurnalis. Bahwa peristiwa itu adalah keliru, dan penyesalan telah disampaikan.

Baca Juga :  Geopark Merangin: Di Antara Pengakuan Dunia dan Menakar Keseriusan Pemerintah Daerah

Sebuah permintaan maaf adalah awal, bukan akhir. Tapi permohonan tanpa pembelajaran, hanya akan menjadi gema yang hilang ditelan waktu.

Karena yang diharap bukan sekadar kata maaf, melainkan tumbuhnya kesadaran bahwa kebebasan pers bukan hadiah, tapi hak yang mesti dijaga.

Yang tersisa dari hari itu bukanlah berita, bukan pula pernyataan. Yang tinggal hanyalah getir, luka kecil yang menyayat martabat profesi, dan pertanyaan yang menggantung.

Apakah negeri ini masih menjunjung tinggi kebebasan pers? Ataukah kini, suara pun perlu izin untuk bernapas?