Aipda Viven, di Balik Seragam dan Nyanyian Sunyi Seorang Bhabin

JAMBILIFE.COM – Di kaki bukit yang diselimuti kabut pagi, di tanah dingin Kerinci yang harum oleh aroma tanah basah dan kopi yang mengepul dari dapur-dapur sederhana, lahirlah seorang anak lelaki pada 2 November 1986 silam.

Sosok yang kelak tumbuh menjadi sosok yang teguh, bernama Viven Noveza, S.A.P. Seorang anak kampung yang mendewasa bersama nilai-nilai keberanian dan pengabdian.

Sejak kecil, langkah-langkahnya telah diarahkan bukan ke panggung kemewahan, melainkan ke jalan panjang yang tak selalu ditaburi bunga, yaitu jalan kepolisian.

Di tahun 2005, bersama letingan ZLD di SPN Jambi, ia mengikrarkan diri dalam sunyi. Menjadi pelindung tanpa pamrih, menjadi penjaga bagi mereka yang mungkin tak pernah mengenal siapa dirinya.

Kini, ia dikenal oleh masyarakat sebagai Pak Bhabin. Bukan karena pangkat yang tinggi, bukan pula karena atribut resmi yang melekat di dadanya, melainkan karena kehadirannya di tengah rakyat, sebagai Bhabinkamtibmas Desa Air Hangat, di bawah naungan Polsek Air Hangat Timur, Polres Kerinci.

Di antara riuh dinamika desa, sosok Bripka Viven hadir bagai teduh di bawah pohon rindang. Ia bukan polisi yang menjaga jarak. Ia menyapa anak-anak yang bermain bola di lapangan, mendengar keluh petani yang kebunnya diganggu hama, dan menyimak kisah para ibu tentang harga sembako. Ia tahu betul, tugas polisi bukan hanya menegakkan hukum, tapi juga menegakkan harapan.

Trisia Utari, S.E., sang istri, menjadi saksi betapa pengabdian suaminya bukanlah hal yang mudah. Bersama dua anak laki-laki mereka, keluarga kecil ini menjadi tempat Viven pulang dan merekatkan kembali kepingan-kepingan lelahnya.

Tak dipungkiri, di balik pengabdian Aipda Viven, Trisia adalah seorang perempuan yang tak kalah tangguh. Sang istri, sahabat hidup, dan Bhayangkari sejati.

Di rumah, Trisia menjadi penopang, tempat pulang dari segala letih dan resah sang suami. Bersama dua anak lelaki mereka, keluarga kecil ini hidup dengan ritme yang tidak seperti kebanyakan.

Baca Juga :  Lansia dan Ibu Hamil Terjebak Banjir di Kota Jambi

Tak banyak akhir pekan yang mereka nikmati bersama. Tak semua libur bisa diisi dengan jalan-jalan atau waktu luang yang utuh. Anak-anak kerap bertanya, kadang memprotes,

“Ayah ke mana lagi?” “Kapan kita bisa ke danau, Ayah?”

Tapi mereka pun tahu, ketika ayah tak di rumah, berarti ayah sedang menjaga rumah orang lain, menjaga desa-desa yang mungkin sedang menghadapi gejolak, mengurusi sengketa, atau hanya sekadar memastikan malam tetap tenang.

Namun keluarga tercinta tahu, setiap langkah kaki ayahnya, adalah doa bagi negeri, dan setiap rindu mereka, adalah restu yang mengiringi ayahnya.

Yang pasti kedua anaknya bangga, tentu saja. Siapa yang tak bangga memiliki ayah yang menjaga negeri? Di balik senyum para warga yang damai, ada langkah seorang Bhabinkamtibmas yang tegas, ada malam-malam tanpa tidur yang dilewati, ada peluh yang direlakan demi keluarga, dan demi negeri.

Tapi, sesekali kebanggaan itu pun membawa bayangan lain, bayangan rindu yang menggantung, tak pernah sempat benar-benar sampai. Bagaimanapun kedua anak Aipda Viven, juga ingin merasakan apa yang dirasakan anak lain sebaya mereka.

Sang istri, Trisia juga telah lama paham, menjadi istri seorang anggota Polri bukan hanya tentang menunggu. Ia pun ikut berdinas dalam diam: mengurus anak saat sang suami patroli, menenangkan kerinduan saat waktu tak berpihak. Ia tahu, menjadi Bhayangkari bukan sekadar seragam, melainkan panggilan jiwa.

Sebelum menjabat sebagai Bhabin, Aipda Viven pernah bertugas di bidang Reserse, dari pangkat Bripda hingga Bripka. Tapi ketika ia ditugaskan sebagai Bhabinkamtibmas, ia harus menjadikan dirinya hadir dan memberikan ketenangan di tengah masyarakat.

Kini, ia membina tujuh desa dalam Kecamatan Air Hangat Timur. Yaitu Desa Sungai Medang, Desa Baru Sungai Medang, Desa Air Hangat, Desa Baru Air Hangat, Desa Kemantan Agung, dan Desa Kemantan Darat serta Desa Kemantan Kebalai

Baca Juga :  Gubernur Al Haris: Sinergi Pemerintah dan DPRD untuk Jambi Mantap Berkelanjutan

Tujuh desa dengan berbagai karakter, dinamika, dan persoalan. Tapi tak sekalipun ia mengeluh. Ia menyebut desa-desa itu seperti anak-anaknya sendiri, semua ia jaga, semua ia perhatikan.

Ia hafal wajah-wajah warga, tahu letak rumah kepala dusun, bahkan paham arah angin dan musim di setiap kampung. Ketika pagi datang, ia bangun lebih awal. Mengenakan sepatu lari, ia berkeliling desa, bukan sekadar berolahraga, tapi sekaligus memantau.

Ia tidak menunggu laporan, ia mencari tahu sendiri. Itu sebabnya masyarakat menyukainya, karena ia bukan hanya hadir saat diperlukan, tapi selalu ada, bahkan sebelum diminta.

Namun lelah itu tak pernah menjadikannya rapuh. Ia tetap bangun pagi, mengikat tali sepatu untuk berjoging menyusuri jalan desa, sebuah hobi yang sederhana namun menyala dengan semangat hidup.

Lulusan S-1 Administrasi Publik STIA Nusa, Sungai Penuh ini bukan hanya cerdas dalam pikiran, tapi juga jernih dalam niat. Ia mengerti bahwa keberhasilan seorang polisi tak diukur dari tepuk tangan atau medali kehormatan, melainkan dari ketenangan yang dirasakan rakyat di bawah jagaannya.

Menjelang Hari Bhayangkara, 1 Juli, Viven tetap menatap ke langit biru yang dihiasi awan lembut dan menyimpan harap.

“Semoga polisi tetap menjadi panutan, tetap dicintai, tetap hadir sebagai pengayom. Meskipun ada segelintir yang menodai seragam ini, biarlah mereka menjadi kerikil kecil dalam jalan panjang menuju kesempurnaan yang bernama presisi.

Di tengah derasnya arus perubahan dan cibiran terhadap institusi, ia tetap teguh berdiri. Tak perlu sorotan kamera, tak perlu pujian ramai. Cukup satu senyum dari seorang warga, cukup satu ucapan terima kasih dari seorang anak kecil yang merasa aman, itulah imbalan yang tak ternilai bagi Aipda Viven.

Baca Juga :  Inilah Lurah yang Masuk Tiga Besar di Final Lurah Terbaik Kota Jambi 2025
Bersama anggota Babinsa membantu pengendara yang mengalami kecelakaan. Foto/istimewa

Jalanan tak selalu ramah, kadang berlubang, kadang berbatu. Namun kaki itu telah terbiasa menapakinya, menyusuri lorong-lorong kampung saat malam menggelayut pekat. Bukan karena terpaksa, tapi karena ada harapan yang ingin dijaga, ada cahaya kecil yang mesti dipelihara dari padamnya nilai-nilai.

Malam-malam sunyi kerap menjadi saksi, bagaimana langkah-langkah singgah ke sudut-sudut pertemuan para pemuda. Sekadar menyapa dengan senyum, menebar rasa aman lewat obrolan ringan, seperti pelita kecil di tengah gelap, membawa pesan tanpa paksaan, mengingatkan tanpa menggurui.

Dalam riuh tawa mereka, ada potensi yang menunggu digali, dan dalam diamnya, ada keresahan yang tak selalu terucap. Maka Aipda Viven hadir, bukan sebagai hakim, melainkan sebagai kawan. Menyuarakan kebaikan sebelum suara-suara lain menyusupkan keburukan.

Sebab dirinya sebagai Bhabin tahu, di ujung jalan sana, bayang-bayang minuman keras, godaan judi daring, dan bisikan tawuran telah menanti, mengintai jiwa-jiwa muda yang belum sepenuhnya kuat berdiri. Maka, pencegahan bukanlah soal kekuasaan, tapi kepekaan untuk membaur, mendengar, dan menjadi bagian dari mereka.

Begitulah, malam demi malam berlalu. Dalam gelap, sosok Bhabinkamtibmas ini menanam terang. Dalam senyap, menabur harap. Semua demi satu tujuan, menjaga agar langkah tak menyimpang, agar kampung tetap bernapas dalam damai, dan masa depan tak hilang arah di persimpangan.

Ia bukan pahlawan dalam buku sejarah. Ia adalah pahlawan dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah nyala kecil yang menyala terus di ujung senyap negeri ini.

Dan, selama ia masih mengikat sepatu dinasnya tiap pagi, masyarakat tahu bahwa harapan masih hidup di balik satu seragam Aipda Viven, yang 2024 lalu pernah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu Bhabinkamtibmas berprestasi. (*)