Oleh: Dr Noviardi Ferzi (Akademisi, Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik yang tinggal di Kota Jambi)
KLAIM bahwa wilayah Kabupaten Sarolangun kini “tak lagi gelap gulita” setelah group PT SAS memasang 40 titik lampu jalan perlu dilihar secara lebih kritis.
Pemasangan penerangan jalan umum tentu patut diapresiasi, namun jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah dan kebutuhan infrastruktur jalan di Kabupaten Sarolangun.
Dengan 40 titik lampu saja, sulit rasanya menyimpulkan bahwa seluruh kawasan kini terang benderang.
Paling jauh, inisiatif tersebut baru sebatas memberi penerangan dibeberapa ruas tertentu yang sering dilewati masyarakat atau berdekatan dengan aktivitas perusahaan.
Lebih jauh, langkah ini perlu dibaca dalam konteks siapa PT SAS dan apa kontribusi sebenarnya bagi daerah.
Sebagai perusahaan tambang batu bara, PT SAS memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan yang jauh lebih besar daripada sekadar memasang lampu jalan.
Kegiatan pertambangan di Jambi, termasuk di Sarolangun, telah lama dikaitkan dengan persoalan lingkungan seperti kerusakan lahan, air yang tercemar, dan pit tambang yang tidak direklamasi.
Dalam konteks itu, proyek lampu jalan tampak kecil dibandingkan skala dampak yang ditimbulkan industri pertambangan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Maka, tak sedikit pihak yang menilai langkah ini lebih merupakan bagian dari strategi “greenwashing” — upaya mempercantik citra melalui kegiatan sosial berskala kecil, tanpa menyentuh akar tanggung jawab ekologis dan sosial perusahaan.
Selain itu, belum jelas bagaimana keberlanjutan proyek ini akan dijaga. Siapa yang akan menanggung biaya listrik, perawatan, dan penggantian lampu jika rusak?
Apakah pemerintah daerah memiliki perjanjian teknis yang transparan dengan perusahaan, dan apakah masyarakat dilibatkan dalam pengawasan serta pemeliharaannya?
Tanpa kejelasan tersebut, ada kekhawatiran bahwa program ini hanya akan bertahan sebentar, lalu kembali padam seiring waktu.
Dari sisi kebijakan publik, penerangan jalan memang meningkatkan rasa aman dan mobilitas warga, tetapi ia bukan solusi utama terhadap masalah infrastruktur dasar di Sarolangun.
Jalan yang rusak, drainase buruk, hingga akses warga ke fasilitas publik masih menjadi isu mendasar yang belum terselesaikan.
Maka ketika perusahaan tambang lebih menonjolkan program kecil seperti pemasangan lampu, sementara isu besar di sekeliling tambang dibiarkan menggantung, langkah itu mudah terbaca sebagai manuver pencitraan.
Dengan demikian, meskipun pemasangan 40 titik lampu jalan oleh Group PT SAS layak diapresiasi sebagai langkah positif, publik tetap perlu memandangnya secara proporsional.
Transparansi, komitmen pemeliharaan jangka panjang, dan keterlibatan masyarakat adalah hal penting agar program ini tidak berhenti pada tataran simbolik.
Jika tidak, terang lampu yang baru menyala malam ini bisa jadi hanya sekejap, sementara masalah yang lebih gelap dan mendasar di sekitar tambang tetap belum tersentuh.(*)









