JAMBILIFE.COM – Di sebuah ruang sidang yang sunyi, di antara dinding yang menampung bisik-bisik keadilan dan jerit yang ditahan waktu, perkara kelam kembali bergulir.
Kamis 22 Mei 2025, Pengadilan Negeri (PN) Jambi menjadi saksi bisu bagi sebuah babak baru dalam kisah yang menyesakkan dada. Persidangan seorang Aparatur Sipil Negara, Rizki Aprianto atau yang dikenal sebagai Yanto, dengan tuduhan mencabuli masa depan seorang anak.
Lelaki dengan berseragam kebudayaan namun dituduh mencederai kehormatan, kembali duduk di hadapan majelis hakim. Pintu-pintu ruang sidang tertutup rapat, seolah ingin melindungi keheningan dari luka yang coba disembunyikan.
Di sidang yang beragendakan pemeriksaan terhadap terdakwa itu, kuasa hukumnya, Rian Gumai, menyampaikan keyakinannya bahwa proses hukum akan tetap berjalan dalam rel-rel keadilan yang lurus. Namun, di antara lembar-lembar BAP dan sisa jejak peristiwa, ia menyebut adanya bayang-bayang kejanggalan.
Dari mulutnya meluncur sebuah catatan: keterangan ahli dari UPTD PPA Provinsi Jambi, katanya, tak selaras dengan waktu kejadian.
Disebutkan korban diperiksa pada 11 November 2024, namun insiden yang dituduhkan justru terjadi sehari setelahnya, pada tanggal 12. Apakah waktu bisa ditekuk ataukah nalar yang harus dipertanyakan?
Tak berhenti di sana, sang ahli pun, menurutnya, belum bersertifikasi sebagai psikolog, gelar yang berat namun harus disandang dengan sahih.
Kemudian, disinggunglah hasil visum et repertum (VER) dari rumah sakit yang tak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tak tampak bukti yang diyakini oleh kuasa hukum sebagai penyangga kebenaran kliennya.
Bahkan dugaan video porno yang dikatakan korban pernah ditunjukkan oleh terdakwa, juga tak terkuak di persidangan. Demikian pula dengan cerita tentang cairan tubuh yang dihapus dengan tisu, hanya menjadi kabut di ruang fakta.
Persidangan berjalan tenang, meski di luar sana, gelombang emosi menggulung diam-diam.
Rian pun menyampaikan sebuah pernyataan yang mengguncang nalar: bahwa pernah ada upaya damai, dengan angka yang mengapung antara Rp250 juta hingga Rp1 miliar, menjelang praperadilan.
Ia menyebut, pihaknya mengawal proses ini dengan berpegang pada Pasal 184 KUHP, bahwa kebenaran tak seharusnya dibeli atau dijual.
“Kami hanya meminta keadilan,” ujarnya, “Jika tidak terbukti, biarlah hukum yang membersihkan nama klien kami.”
Namun keheningan sidang itu seketika robek, bukan oleh palu hakim, melainkan oleh teriakan seorang ibu.
Ia, perempuan yang melahirkan dan menyaksikan tumbuh anaknya, kini berdiri dalam badai. Suaranya menggema, bukan dalam bahasa hukum, melainkan dari luka dan amarah.
“Kau bohong ya! Mentang-mentang kami orang miskin, seenaknya ngomong sembarangan!” Seruan yang melampaui kalimat, ia adalah jeritan yang melawan diam.
Di kisah ini, diketahui bahwa hari itu bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang ketimpangan, kepercayaan yang koyak, dan seorang anak yang hanya ingin pulang dari sekolah, tapi tak pernah sama lagi setelahnya.
Ia berjalan kaki dari SMP 24 di kawasan Purnama. Di tengah perjalanan pulang, ia disapa mobil merah merek HRV Prestige yang dikendarai seorang pria berseragam negara.
Ada pertanyaan ringan, tentang lokasi tempat biliar. Lalu, iming-iming uang dan janji pulang.
Di pos atas Citra Nusa, semua berubah. Di situ, kata ‘kepercayaan’ menjadi debu, dan tubuh kecil itu tercatat dalam berita acara.
Setelah peristiwa itu, ia diturunkan di depan sebuah pesantren, dengan luka yang tak terlihat, namun akan terus tinggal dalam ingatan.
Dan kini, di ruang sidang yang sunyi, kebenaran dan kebohongan berdiri saling menatap, menanti palu hakim yang kelak menjadi satu-satunya suara yang memutuskan, siapa yang benar, siapa yang salah, atau adakah ruang di antaranya, di mana kebenaran tak bisa ditemukan.(*)