Verifikasi Bukan Legitimasi Monopoli Ruang Publik

Oleh: Jefri Bintara Pardede      Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi, Aktivis Sosial, Lingkungan & Pemerhati Media Inklusif

 

Pekan ini, publik Jambi disuguhi berita tentang 16 media siber yang telah terverifikasi Dewan Pers, baik secara administratif maupun faktual. Informasi ini penting dan patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya menegakkan profesionalisme pers di era digital.

Namun yang perlu dikritisi adalah ketika status verifikasi itu mulai diklaim sebagai bentuk superioritas informasi, bahkan secara implisit digunakan untuk mendeligitimasi ratusan media lokal lain yang belum atau belum sempat terverifikasi.

Narasi seperti ini tidak hanya bias, tapi juga berbahaya. Ia bisa menjadi awal dari lahirnya “kasta baru dalam dunia pers”, yang bertentangan secara fundamental dengan semangat demokrasi dan kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.

Tak Ada Kasta Dalam Kebebasan Pers

Di era digitalisasi dan dalam semangat demokrasi, tidak ada kasta dalam ruang kebebasan pers. Semua entitas, baik itu media nasional, lokal, komunitas, bahkan individu kreator, memiliki hak yang setara untuk menyampaikan informasi yang faktual, bertanggung jawab, dan berkontribusi terhadap kecerdasan publik.

Baca Juga :  Pentingnya Pendidikan dan Latihan di Sektor Pariwisata

Verifikasi Dewan Pers adalah instrumen penting dalam ekosistem media profesional, bukan senjata untuk monopoli kebenaran atau tameng untuk menguasai ruang wacana publik. Bila status terverifikasi digunakan untuk menyingkirkan, mengucilkan, atau menegasikan eksistensi media lain, maka kita telah melenceng jauh dari semangat reformasi pers itu sendiri.

Media Lokal dan Praktek Jurnalisme Baru: Fakta tak Terbantahkan

Realitas hari ini menunjukkan bahwa ratusan media lokal yang belum terverifikasi tetap menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi keempat. Mereka menyuarakan isu-isu yang kerap tak disentuh media besar, tentang konflik agraria, ketimpangan desa, ekologi yang rusak, hingga suara-suara minoritas yang terlupakan. Mereka hadir di ruang-ruang sunyi yang sering tak dilirik siapa pun.

Lebih dari itu, praktik jurnalisme kini telah melampaui pagar institusi media formal. Setiap individu, anak muda di desa, pegiat komunitas, aktivis lingkungan, pelaku UMKM, dapat memproduksi dan menyebarkan karya jurnalistik lewat Instagram, TikTok, YouTube, Facebook, dan platform lainnya. Banyak dari mereka lebih faktual, lebih cepat, dan lebih berani menyuarakan kebenaran, dibanding media yang sibuk mengurus legalitas tapi lupa akar sosialnya.

Baca Juga :  Geopark Merangin: Di Antara Pengakuan Dunia dan Menakar Keseriusan Pemerintah Daerah

Faktanya, generasi milenial dan Gen Z sudah meninggalkan media cetak dan bahkan siaran TV, karena tidak lagi relevan dengan gaya hidup dan ritme informasi hari ini. Mereka tak lagi terpaku pada media yang “terverifikasi”, tapi pada media yang menyentuh realitas mereka.

Jangan Gunakan Administrasi Sebagai Alat Represi

Mendorong media untuk terverifikasi adalah langkah baik. Tapi menjadikan administrasi dan legalitas sebagai barikade yang menyingkirkan media alternatif, adalah bentuk perampasan hak publik dalam menyampaikan informasi. Ini semacam represi baru yang dibungkus rapi dalam jubah profesionalisme.

Ingat, Dewan Pers bukan satu-satunya penentu kebenaran informasi. Ia bukan lembaga moral, bukan pula hakim atas siapa yang boleh bersuara. Maka tak pantas bila ada pihak-pihak yang menggunakan status terverifikasi sebagai tameng eksklusif untuk menyingkirkan yang lain.

Lebih memprihatinkan lagi, ada yang berlindung di balik label “media terverifikasi” tapi justru memperdagangkan berita, menggadaikan independensi redaksi kepada kepentingan politik atau bisnis, bahkan menjadi corong oligarki.

Baca Juga :  BLUD untuk SMK: Transformasi Vokasi dari Jambi Menuju Kemandirian dan Relevansi

Saatnya Inklusif, Bukan Elitis

Ekosistem pers yang sehat bukan yang disaring dengan ketat, tapi yang dibina dengan kolaboratif. Negara dan Dewan Pers mestinya hadir untuk membina, bukan menyaring secara eksklusif. Media lokal butuh pendampingan, bukan penghakiman.

Kami dari komunitas sipil, pegiat lingkungan, dan masyarakat adat sangat paham siapa media yang benar-benar berpihak pada rakyat, dan siapa yang hanya tampil bersih secara administratif tapi kehilangan nyawa jurnalistiknya.

Publik Butuh Integritas Bukan Label 

Hari ini, integritas lebih penting daripada status. Verifikasi itu baik, tapi integritas dan keberanian menyuarakan kebenaran adalah yang utama. Jangan sampai kita sibuk membanggakan legalitas, tapi mati rasa terhadap isu-isu substansial yang menggerogoti kehidupan rakyat.

Jangan jadikan media sebagai menara gading yang steril dari realitas sosial. Jangan pula menempatkan diri di podium tinggi lalu menunjuk-nunjuk yang lain sebagai “tidak sah”. Karena dalam demokrasi, yang tidak sah adalah monopoli suara, bukan keberagaman suara.

Mari kita rawat ruang informasi ini bersama, tanpa arogansi status, tapi dengan semangat kolaborasi.(*)

Tinggalkan Balasan