IUP yang Berlari, RTRW yang Tertatih

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S, IP., M. AP
Akademisi UIN STS Jambi

Dalam fase meningkatnya investasi nasional dan kebijakan pemenuhan kebutuhan energi, ekspansi izin usaha pertambangan (IUP) di berbagai daerah bergerak jauh lebih cepat daripada kemampuan pemerintah setempat menata ruangnya.

Beberapa tahun terakhir, terutama setelah gelombang deregulasi dan penyederhanaan perizinan, peta ekonomi wilayah berubah dengan kecepatan yang sulit diprediksi.

Kawasan yang sebelumnya bertumpu pada agrikultur dan perdagangan lokal menjelma menjadi pusat aktivitas ekstraktif tanpa kesiapan tata ruang yang memadai.

Ketimpangan antara percepatan izin tambang dan lambatnya revisi RTRW menjadi akar dari berbagai persoalan tekanan lingkungan, migrasi besar-besaran, ketimpangan ekonomi, hingga potensi konflik batas antarwilayah.

Ada ironi besar dalam pembangunan hari ini. Investasi dan perizinan usaha melaju agresif, didorong kebutuhan energi dan kebijakan yang pro-percepatan investasi. Sementara itu, tata ruang sebagai fondasi perencanaan justru berjalan tertatih, seolah dipaksa mengejar langkah yang terlampau jauh di depan.

Ketegangan ini paling tampak dalam hubungan antara percepatan IUP dan kesiapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai penuntun arah pembangunan jangka panjang.

IUP melaju dengan logika ekonomi yang rasional. Permintaan energi meningkat, harga komoditas menggoda dan deregulasi membuat proses perizinan jauh lebih cepat. Namun RTRW tidak didesain untuk bergerak selincah itu.

Penyusunannya memerlukan analisis daya dukung lingkungan, proyeksi demografis, rencana kawasan lindung, hingga integrasi dengan kebijakan nasional. Karena kompleksitas itulah, pembaruan RTRW tidak pernah bisa dilakukan tergesa-gesa.

Ketika perizinan melaju lebih cepat ketimbang pembaruan ruang, ruang menjadi arena tumpang tindih. Banyak kawasan ekologis sensitif justru masuk dalam konsesi, sementara area pertanian atau permukiman bergeser fungsi karena peta izin yang meleset dari rencana.

Baca Juga :  Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Pada titik ini, tata ruang yang seharusnya mengatur arah pembangunan malah dipaksa mengikuti langkah IUP.

Ruang Bukan Sekadar Lokasi Ekonomi

Kekuatan RTRW tidak akan pernah terwujud tanpa kepatuhan seluruh sektor pemanfaat ruang. Di sinilah metafora IUP yang berlari dan RTRW yang tertatih menemukan maknanya, bukan soal siapa yang benar atau lemah, tetapi soal bahaya dua ritme kebijakan yang tidak selaras.

Disharmoni ini merusak konsistensi struktur ruang dan menggerus kredibilitas tata kelola pembangunan. Sektor usaha pun perlu mengubah cara pandang. Kepastian ruang bukan hambatan investasi.

Ia adalah perlindungan jangka panjang yang menciptakan stabilitas usaha, mencegah konflik sosial dan mengurangi risiko hukum. Dengan demikian, kepatuhan pada tata ruang adalah fondasi keberlanjutan usaha, bukan sekadar kewajiban administratif.

Persoalan tata ruang sesungguhnya lebih filosofis ketimbang teknis. Ruang adalah warisan lintas generasi, bukan sekadar lokasi produksi ekonomi. Di dalamnya terkandung prinsip keberlanjutan, keseimbangan ekologis dan keadilan antarwilayah.

Namun, ekspansi perizinan sering dibingkai dalam logika ekonomi jangka pendek yang perlu cepat dan fleksibel. Tidak masalah bila keduanya selaras.

Tetapi ketika percepatan perizinan melaju tanpa dukungan kapasitas tata ruang, terjadilah deviasi sistemik, ketidaksesuaian zonasi, tumpang tindih pemanfaatan ruang dan melemahnya kontrol institusional.

Bisakah IUP Pusat Dibatalkan Jika Langgar RTRW Daerah?

Pertanyaan penting ini tidak bisa dijawab hanya dengan pendekatan politik atau administratif. Ia memerlukan pembacaan jernih atas hukum tata ruang, mekanisme penyelesaian konflik pemanfaatan ruang, serta dinamika hubungan kewenangan antara pusat dan daerah pasca UU Cipta Kerja.

UU 26/2007 tentang Penataan Ruang tetap berlaku, tetapi sebagian ketentuannya sudah diubah lewat UU Cipta Kerja (UU 11/2020 dan UU 6/2023).

Baca Juga :  Ketika Suara Dihalang dan Pertanyaan Dianggap Ancaman

Kewenangan utama perizinan pertambangan kini berada di pemerintah pusat melalui UU Minerba. Namun kewajiban kesesuaian ruang tetap melekat, sebagaimana diatur dalam PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan PP 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Perizinan dan/atau Hak Atas Tanah.

Artinya, sekalipun izin berada di tangan pusat, ia tetap harus sesuai dengan RTRW provinsi maupun kabupaten/kota. Kesesuaian ini adalah syarat legal yang tidak dapat dinegosiasikan.

Bagaimana Hukum Menyikapi Konflik Ruang?

Di sinilah pentingnya memahami asas-asas fundamental hukum tata aturan. Pertama, lex superior derogat legi inferiori, kebijakan teknis atau keputusan perizinan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, termasuk norma tata ruang nasional.

Kedua, lex specialis derogat legi generali, aturan khusus seperti UU Minerba dapat mengenyampingkan aturan umum, tetapi tidak dapat meniadakan kewajiban kesesuaian ruang karena syarat ini merupakan ketentuan substantif UU Penataan Ruang.

Ketiga, lex posterior derogat legi priori, regulasi yang lebih baru dapat menjadi acuan, tetapi perubahan melalui UU Cipta Kerja tidak menghapus prinsip bahwa setiap izin berusaha tetap tunduk pada rencana tata ruang.

Dengan demikian, meski izin diterbitkan pusat, izin tersebut tetap terikat pada norma ruang sebagai instrumen hukum yang lebih tinggi.
Namun dalam praktik, persoalannya tidak sesederhana itu.

PP 43/2021 mengatur bahwa ketidaksesuaian antara izin pusat dan RTRW daerah tidak otomatis membatalkan izin. Proses penyelesaiannya teknokratis dan multi-instansi, audit teknis, verifikasi spasial Satu Peta, validasi zonasi RTRW terbaru dan klarifikasi lintas kementerian.

Kasus pencabutan empat IUP di Raja Ampat pada 2025 adalah contoh paling jelas. IUP itu dibatalkan karena berada di kawasan konservasi dan bertentangan dengan norma ekologis. Ini membuktikan bahwa izin pusat dapat dicabut ketika pelanggaran substantif terbukti melalui kajian teknis.

Baca Juga :  Catatan Ekonomi Q3 2025: Saat Ekonomi Jambi Bangkit, Investasi Melambat

Pengadilan juga memainkan peran. Putusan PTUN dan MA pada 2023–2024 menunjukkan bahwa lembaga yudisial dapat membatalkan atau menguatkan IUP, tergantung bukti teknis dan prosedural yang diajukan. Status legal IUP pada akhirnya bergantung pada dokumentasi dan akurasi data spasial.

Pembangunan yang Benar Harus Tunduk pada Ruang

Jika dicermati dari perkembangan kasus dan praktik kebijakan beberapa tahun terakhir, polanya semakin jelas. IUP dapat dibatalkan apabila terdapat bukti kuat ketidaksesuaian dengan RTRW, pelanggaran lingkungan, atau cacat administratif.

Namun proses ini tidak pernah sederhana, karena selalu berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan antara percepatan ekonomi, politik kewenangan pusat–daerah, serta kompleksitas tata ruang pasca berlakunya UU Cipta Kerja.

Oleh sebab itu, setiap upaya advokasi pembatalan IUP harus disiapkan dalam kerangka teknokratis yang kokoh dari bukti spasial Satu Peta, kajian teknis independen, penggunaan mekanisme administratif PP 43/2021, hingga langkah litigasi melalui PTUN bila diperlukan.

Pengalaman berbagai daerah menunjukkan bahwa pencabutan izin kerap lahir dari perpaduan presisi data, kekuatan legal argument dan tekanan publik yang terukur.

Pada akhirnya, ketidaksesuaian tata ruang bukan sekadar persoalan garis pada peta, melainkan inti dari tata kelola pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Pembatalan izin hanyalah instrumen korektif; yang jauh lebih penting adalah memastikan arah pembangunan tetap berada dalam koridor hukum, sejalan dengan kapasitas ruang, serta memegang teguh tanggung jawab antar-generasi.

Dalam kerangka itulah, tata ruang harus menjadi rujukan tertinggi bukan hanya secara normatif, tetapi juga secara operasional dalam setiap keputusan pembangunan.(*)

Tinggalkan Balasan