Melati yang Berjalan Tanpa Diri

JAMBILIFE.COM – Langit siang di Kota Jambi seolah ikut menahan napas, ketika seorang gadis remaja berjalan lunglai di jalanan yang ramai di Akhir Mei 2025.

Namanya Melati, bukan nama sebenarnya, tapi sebutan yang layak bagi bunga yang kehilangan harum. Ia masih belia, baru duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun, tubuhnya telah menanggung luka yang tak terlihat mata, dan jiwanya, mungkin telah tercerabut dari raganya.

Melati berjalan setengah telanjang, dari kawasan pemakaman Tionghoa di Kelurahan Rawasari. Bajunya menutup bagian atas tubuh, tapi dari pinggang ke bawah terbuka, seperti menyuarakan jerit yang tak sanggup ia ucapkan. Orang-orang menoleh, mencibir, berbisik lirih, menggeleng kepala.

Baca Juga :  25 Hakim Terbukti Melanggar Kode Etik dan PPH, 1 Hakim Diusulkan Diberhentikan

“Kasihan… anak itu, barangkali sudah gila,” gumam mereka.

Tak seorang pun tahu, bahwa di balik langkah lunglainya yang tak sadar arah itu, tersimpan kisah gelap yang baru saja terjadi. Ia dicekoki minuman keras oleh teman-temannya anak-anak lelaki sebaya, juga masih berseragam putih biru. Merekalah yang kemudian, seperti serigala lapar, melumat kehormatan Melati hingga hancur berkeping.

Sekitar jam dua siang, Melati menyusuri jalan dari kuburan ke sebuah lesehan tempat salah satu pelaku biasa berkumpul. Tak tahu arah, tak kenal malu, sebab kesadarannya telah direnggut bersama paksa tubuhnya.

Baca Juga :  Penyelundupan 29 Kg Sisik Trenggiling Digagalkan Ditpolairud Polda Jambi 

Warga yang menyaksikan hanya bisa mematung. Tak satu pun berani mendekat. Dunia, kadang begitu kejam pada yang lemah memberi simpati yang datang terlambat.

Apa yang lebih menyayat hati, selain seorang anak perempuan menjadi korban kebiadaban di usia semuda itu? Apa yang lebih menyakitkan bagi orangtua, daripada mengetahui buah hatinya ternoda oleh tangan-tangan durjana yang berselimut wajah anak-anak?

Pergaulan, zaman kini, bisa jadi lorong gelap yang menyesatkan. Teman bisa menjadi penyelamat, bisa pula menjadi malaikat maut yang menyamar. Dan Melati, barangkali hanya ingin merasa diterima, merasa dicinta. Tapi yang ia dapat, justru kehancuran.

Baca Juga :  Solusi Digital Optimalisasi PNBP Kejaksaan degan Aplikasi Simpelmonev Pidsus

Kini, hukum menjadi tumpuan terakhir. Beberapa pelaku telah ditangkap, tapi luka yang menganga di tubuh dan jiwa Melati tak akan pernah bisa dibalut hanya oleh hukuman.

Keadilan, semoga benar-benar hadir, bukan hanya sebagai kata dalam surat keputusan. Dan semoga tak ada lagi Melati lain yang harus berjalan telanjang di siang bolong, tak karena gila, tapi karena dunia ini terlalu tuli untuk mendengar tangis anak-anaknya.(*)